Skip to main content

Oral Manifestation of Smoking Patient - a cup of white tea



Halitosis? What exactly was that? It sometimes makes us embarrassed and uncomfortable due to its potential to destroy our proximity to others (what the?!). But, yes, indeed, halitosis can be be the major lead of mouthwash industry movement. Without halitosis, they can't make their factory puffing their fog and smoke. Aiya...... sorry for the blabbing. My supervisor for this case was drg. Sri Budiarti, M.S.



TINJAUAN PUSTAKA
Halitosis adalah odor tidak sedap yang berasal dari nafas (the Columbia Encyclopedia, 2004). Halitosis merupakan keluhan yang umum dilaporkan (Spielman, 1996). Tidak semua orang yang percaya bahwa mereka memiliki malodor yang sesungguhnya. Hal ini dapat menjadi dilema klinis dan dapat mempunyai dasar psikogenik (Scully, 2004). Oral malodor merupakan hal umum yang dijumpai saat bangun pagi (morning breath) dan disebabkan karena aliran saliva dan oral cleansing yang rendah selama tidur. Hal ini tidak memberikan signifikansi karena biasanya aktivitas makan, berkumur dengan air dapat menetralkannya. Halitosis dapat menjadi konsekuensi memakan makanan yang memiliki rasa yang kuat seperti bawang putih, bawang merah dan rempah-rempah. Kebiasaan merokok dan meminum minuman beralkohol juga dapat menyebabkan halitosis.

Halitosis secara umum muncul sebagai akibat dari dekomposisi partikel makanan, sel-sel deskuamasi, darah dan beberapa komponen kimia pada saliva. Sembilan puluh persen halitosis berasal dari rongga mulut (Spielman, 1996). Scully (2004) menyebutkan bahwa halitosis merupakan konsekuensi aktivitas bakteri oral, yang biasanya anaerob yang muncul dari oral hygiene yang buruk, gingivitis, penyakit periodontal, oral sepsis, soket ekstraksi yang terinfeksi, debris di bawah GTC ataupun alat orto, ulkus maupun xerostomia.

Ketika dekomposisi material menjadi komponen yang lebih sederhana seperti asam amino dan peptida, beberapa substansi volatil (asam lemak dan senyawa sulfur) juga turut dihasilkan. Beberapa substansi volatil yang dihasilkan meliputi asam propionat, asam butirat, asam valerat, aseton, asetil aldehid, etanol, propanol dan diacyl (Moss, 1996).

Volatil Sulphure Compound (VSC) ditemukan dalam konsentrasi lebih tinggi pada pasien dengan penyakit gingiva daripada pasien normal (Moss, 1996). Kebersihan mulut yang buruk dapat mengakibatkan gingivitis, menciptakan poket miskin-oksigen dalam mulut dan akhirnya mendukung proliferasi bakteri anaerob gram negatif. Bakteri-bakteri ini kemudian akan melisiskan protein pada saliva dan jaringan di rongga mulut yang memicu produksi VSC (Iwakura, 1983). Prabhu (2004) menyebutkan bahwa etiologi halitosis dilaporkan sebagian besar berasal dari rongga mulut sedangkan penyebab non-oral (sistemik) hanya sekitar 10%.

Attia dan Marshall (1982) menyatakan bahwa halitosis yang berasal dari rongga mulut sering dikaitkan dengan kebersihan mulut yang buruk, plak gigi, karies, gingivitis, stomatitis, periodontitis, hairy tongue dan karsinoma. Plak dan hairy tongue merupakan sumber penting halitosis, terutama pada permukaan dorsoposterior lidah (Yaegaki dan Sanada, 1992).

Halitosis yang bukan dari rongga mulut dapat bersumber dari saluran pernafasan, saluran pencernaan, kelainan neurologis, penyakit sistemik dan obat (Attia dan Marshall (1992). Beberapa penyakit saluran pernafasan yang dapat berkontribusi terhadap halitosis adalah infeksi nafas, sinusitis dan polip hidung, pneumonia dan abses paru-paru (Rosenberg, 1996). Menurut Lee dkk. (2004), penyakit sistemik yang dapat menyebabkan halitosis adalah diabetes mellitus misalnya, nafas pasien biasanya berbau manis, seperti buah-buahan atau aroma seton. Pasien dengan gagal ginjal dapat muncul bau amonia (Bricker dkk., 1994). Lee dkk. (2004) menambahkan bahwa obat-obat diuretik, antidepresan, antihipertensif dan antipsikotik dapat menyebabkan halitosis.

Diagnosis dan assesment halitosis ditentukan secara organoleptik (Rosenberg, 1996). Standar referensi utama deteksi halitosis adalah melalui indera penciuman hidung (Rosenberg dan McCulloch, 1992). Baru-baru ini, sudah diperkenalkan sebuah alat untuk mengukur halitosis secara kuantitatif yang disebut halimeter. Alat ini mengukur gas-gas yang dihasilkan dalam mulut. Meski demikian, alat ini masih belum mampu membedakan jenis sulfida yang dihasilkan (DeBoever dkk., 1994).

Manajemen halitosis diawali dengan menilai semua penyakit di rongga mulut yang kemungkinan berkontribusi terhadap halitosis. Pada orang sehat, penatalaksanaan halitosis berdasar pada asumsi bahwa halitosis tersebut merupakan hasil pertumbuhan berlebih flora di rongga mulut yang memproduksi VSC. Terapi yang paling sering ditempuh meliputi cara mekanik (penyikatan lidah) dan secara kimiawi (agen antibakteri) (Preti dkk., 1995). Attia dan Marshall (1982) dan Rosenberg (1996) menambahkan bahwa jika sumber halitosis bukan berasal dari rongga mulut, pasien sebaiknya dirujuk ke dokter untuk penanganan lebih lanjut.

Bricker dkk. (1994) menyatakan bahwa halitosis karena OH buruk dapat dirawat melalui penghilangan plak menggunakan dental floss. Halitosis yang timbul dari gigi tiruan yang sudah lama dan kotor dapat dihilangkan dengan pembersihan gigi tiruan atau menggantinya dengan yang baru. Apabila tidak terdapat sumber halitosis intraoral, halitosis yang persisten harus diselidiki lebih lanjut untuk mengetahui faktor sistemik yang mungkin terlibat.

Menurut Prabhu (2004), halitosis dapat diterapi dengan ebebrapa alternatif terapi sesuai dengan kondisi pasien, seperti:
• Halitosis yang berasal dari rongga mulut karena perkembangan bakteri gram negatif anaerob yang menghasilkan VSC sehingga perawatan yang dilakukan dengan pengurangan jumlah dan populasi mikroba.
• Halitosis yang berasal dari nasal atau sistemik perlu dikonsultasikan dengan spesialis kesehatan lain yang tepat.

Halitosis karena Merokok

Efek sistemik penggunaan tembakau telah banyak diteliti dan dilaporkan secara luas, namun efek lokal karena kebiasaan mengkonsumsi tembakau belum banyak mendapat perhatian kecuali yang berpotensi menjadi kanker (Agustina, 2007). Menurut Attia dan Marshall (1982), merokok merupakan penyebab halitosis fisiologis yang dapat berkurang bahkan menghilang jika kebiasaan dihilangkan.

Merokok dapat memicu terhambatnya produksi saliva. Saliva memiliki peranan penting dalam mekanisme self-cleansing rongga mulut. Produksi saliva yang menurun mengakibatkan penumpukan plak dan kalkulus, kemudian diikuti gigi-gigi yang rentan terhadap karies sehingga OHI menjadi buruk. Peningkatan bakteri anaerob yang berlebihan dalam rongga mulut akan memacu produksi VSC yang kemudian menghasilkan halitosis (Dryscale, 2007).

Perubahan pada jaringan mulut karena merokok dapat dikelompokkan menjadi perubahan pada jaringan lunak, pada jaringan keras, perubahan fisiologi dan mikrobiologi mulut maupun perubahan yang dapat menyebabkan gangguan estetik. Perubahan pada mukosa mulut meliputi leukoplakia, nicotinic stomatitis, smoker melanosis, leukoedema, hairy tongue dan kanker mulut. Perubahan pada jaringan periodontal meliputi gingivitis, periodontitis, ANUG dan delayed alveolar wound healing. Perubahan pada jaringan keras gigi termasuk karies, abrasi dan erosi, sedangkan perubahan pada jaringan mulut yang berkaitan dengan aspek estetis adalah halitosis (Agustin, 2007).

Penatalaksanaan halitosis karena merokok salam dengan penatalaksanaan halitosis secara umum. Jka halitosis disebabkan karena merokok maka penghentian merokok menjadi kunci penting manajemen halitosis (Dryscale, 2007). Peningkatan kebershian mulut juga menjadi terapi efektif halitosis (Scully, 2004).

Menurut Bouquet dan Schroeder (1992), perubahan pada jaringan lunak rongga mulut meliputi:
1. Kanker mulut
Lebih dari 80% pasien kanker mulut mempunyai riwayat meroko ataupun pengguna tembakau dengan cara dikunyah. Kanker mulut saja tentu saja berkembang dengan adanya ko-karsinogen seperti asupan alkohol berlebih.
2. Leukoplakia
Leukoplakia pada perokok terlihat sabagai plak berwarna putih pada mukosa. Lesi ini dapat menghilang jika kebiasaan merokok dihentikan. Leukoplakia juga mempunyai potensi berkembang ke arah malignansi.
3. Nicotine palatinus (stomatitis)
Biasa ditemukan pada perokok yang menggunakan pipa. Lesi ini terjadi karena adanya kontak asap rokok dalam frekuensi dan durasi yang lama. Lesi ini tampak sebagai lesi putih yang berkeratin dan dapat hilang beberapa bulan setelah kebiasaan merokok dihentikan.
4. Smoker’s melanosis
Merokok mampu menstimulasi melanosit pada mukosa rongga mulut umtuk menghasilkan melanin berlebih sehingga menimbulkan patch berwarna coklat pada mukosa bukal dan gingiva. Ditemukan pada sekitar 5-28% perokok berat. Kelainan in dapat hilang jika kebiasaan merokok dihentikan.
5. Hairy tongue
Kondisi ini secara klinis tampak seperti permukaan menebal yang dapat berwarna putih, coklat ataupun hitam. Hairy tongue merupakan pemanjangan papila filiformis yang menyerupai rambut.

See~~ how smoking is very benificial for human glutathione depletion! Glutathione tt nan da? I might post it soon...

Comments

Popular posts from this blog

Bahasa Tertunda pada Anak Usia 2 Tahun

L anguage and communication! Yeah, that are two basic thing that are needed badly by human. No lives exist without that things. Language is complex issue, relating to physical, psychological, physiological, and cultural. Language does develop since our first contact with our very first environment, include since in our mother womb. This article emphasizes to the language delay to the kids living in the institutions. Bahasa mengacu baik pada kapasitas manusia secara spesifik yang bersifat dapatan dan digunakan sebagai sistem kompleks komunikasi, atau untuk hal spesifik seperti sistem komunikasi kompleks. Bahasa mempunyai banyak fungsi dan kompleksitas. Tiga fungsi dasar bahasa adalah untuk informasi, ekspresi dan instruksi. Bahasa bukan sesuatu yang diturunkan, tetapi harus dipelajari oleh subjek selama bersinggungan dengan lingkungannya. Makin cepat mereka dimasukkan ke tempat pembinaan makin baik, simpul sebuah penelitian. Oleh Robert Preidt Jumat, Juni 17, 2011 Tertaut Halaman Med...

Obat dengan Risiko Jantung pada Individu Diabetik Geriatri

P eneliti menemukan risiko yang lebih rendah dengan metformin, tetapi para ahli menyatakan penelitian itu bukan akhir. Penelitian terbaru menunjukkan individu yang lebih tua (selanjutnya disebut geriatri) yang mempunyai diabetes tipe 2 yang meminum obat golongan sulfonilurea untuk menurunkan kadar gula darahnya ternyata mempunyai risiko yang lebih tinggi terjenak masalah jantung daripada mereka yang minum golongan metformin. Lebih dari 8.500 individu berusia 65 tahun ke atas yang mengidap diabetes tipe 2 mengikuti penelitian ini, dan 12,4% dari mereka yang diberi sulfonilurea mengalami serangan jantung ataupun cardiovascular events lainnya, dibandingkan dengan mereka yang yang meminum metformin (10,4%). Sebagai tambahan, masalah jantung ini bermula lebih awal selama perjalanan perawatan pada mereka yang menerima obat sulfonilurea. Penelitian bandingan head-to-head dipresentasikan pada pertemuan tahunan American Diabetes Association (ADA) di San Diego. Karena penemuan ini hend...

Kepekaan Lidah Terhadap Lemak VS Kecenderungan Gemuk

Source: ovealiz.wordpress.com M akanan yang kaya lemak seperti es krim dan salad bermayo menggoda banyak orang, tetapi terdapat bukri baru yang mengindikasikan bahwa beberapa orang sebenarnya bisa “merasakan” lemak yang tersembunyi dalam makanan dan mereka yang tidak bisa melakukannya mempunyai kecenderungan memakan lebih banyak makanan kaya lemak tersebut. Dalam presentasi penelitian berseri yang dilakukan oleh Institusi Teknologi Makanan pada pertemuan tahunan Juni 2011 ini, peneliti menjelaskan mengenai penelitian lambat laun mendukung ide bahwa lemak dan asam lemak dapat dicicip, meskipun ‘rasa’ tersebut dideteksi sebagian besar melalui indera penciuman dan tekstur. Individu yang tidak dapat merasakan lemak mempunyai variansi genetik mengenai cara mereka memproses makanan yang kemudian kemungkinan mengarah kepada ngemil makanan berlemak secara tidak sadar. “Mereka yang lebih sensitif terhadap kandungan lemak lebih gampang mengontrol diet mereka”, kata Kathleen L. Keller, r...

Penelitian Hubungan Antara Penyakit Periodontal dengan Komplikasi Kehamilan

smilevancouver.ca Oleh Yiorgos A. Bobetsis, DDS, PhD; Silvana P. Barros, DDS, PhD; Steven Offenbacher, DDS, PhD, MMSc JADA 2006;137(10 supplement):7S-13S. INTISARI Latar Belakang. Bukti yang bertambah banyak menyatakan bahwa gingivitis dan periodontitis maternal merupakan faktor risiko terjadinya lahir prematur dan kelainan kelahiran. Tipe Penelitian yang Diulas . Untuk mengklarifikasi mekanisme yang memungkinkan antara penyakit periodontal dan kelahiran prematur, peneliti meninjau penelitian mengenai efek infeksi patogen periodontal pada hewan coba terhadap keturunannya, termasuk pertumbuhan fetus, abnormalitas struktural plasenta dan kesehatan neonatus. Setelah laporan pertama, pada tahun 1996, mengenai hubungan potensial antara penyakit periodontal ibu dan kelahiran prematur atau bayi lahir berat rendah pada manusia, beberapa penelitian case control dan prospektif telah dipublikasikan. Ulasan ini mengikhtisarkan hal-hal tersebut, dan juga penelitian terdahulu mengenai...

Diabetes Mellitus Neonatal Permanen (Permanent Neonatal Diabetes Mellitus, PNDM)

Apa itu diabetes mellitus neonatal permanen? Diabetes mellitus neonatal permanen adalah tipe diabetes yang pertama kali terlihat pada usia 6 bulan dan terus ada sepanjang hidup. Tipa diabetes ini ditandai dengan adanya kadar gula darah yang tinggi (hiperglikemia) yang disebabkan kurangnya hormon insulin. Insulin mengontrol berapa banyak glukosa (tipe gula) yang melewati darah menuju sel yang diubah menjadi energi. Individu yang menderita diabetes mellitus neonatal permanen mengalami pertumbuhan yang lambat sebelum lahir (retardasi pertumbuhan intrauterin). Balita yang terkena mengalami hiperglikemia dan hilangnya cairan dalam jumlah besar (dehidrasi) dan tidak mampu menaikkan berat badannya secara normal. Dalam beberapa kasus, individu yang mengalami diabetes mellitus neonatal permanen akan mengalami masalah neurologis, termasuk pertumbuhan yang tertunda dan kejang berulang (epilepsi). Kombinasi antara pertumbuhan yang tertunda, epilepsi, dan diabetes neonatal disebut sindrom DEND...